A. Ekosistem Estuaria
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas yang tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang bervariasi. Kondisi ini secara umum menyebabkan keragaman organisme yang lebih sedikit di wilayah ini tetapi dengan populasi yang tinggi (Supriharyono, 2000)
Kawasan estuaria tersebut terbentuk di ujung sungai-sungai besar yang bermuara ke laut yang berpantai landai. Bercampurnya air tawar dan air laut menjadikan wilayah ini unik dengan terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktuasi. Aliran air tawar dan air laut yang terus menerus membawa mineral, bahan organik, serta sedimen dari hulu sungai ke laut dan sebaliknya dari laut ke muara. Unsur hara ini mempengaruhi produktivitas wilayah perairan muara. Karena itu, produktivitas estuari lebih tinggi (1500 g/m2/th) dari produktivitas ekosistem laut lepas (125 g/m2/th) dan perairan tawar (400 g/m2/th) (Saptarini et. al, 1995).
Wilayah estuaria merupakan habitat yang penting bagi sejumlah besar ikan dan udang untuk memijah dan membesarkan anak-anaknya. Beberapa larva ikan yang dipijahkan di laut lepas juga bermigrasi ke wilayah estuaria pada fase larvanya. Karakteristik lain yang menyebabkan ekosistem ini menjadi penting adalah peranannya sebagai perangkap nutrien (nutrient trap), tetapi apabila aliran dari darat mengandung bahan pencemar maka tidak hanya nutrien yang ditangkap tetapi juga bahan pencemar tersebut seperti minyak, pestisida, logam berat dan sebagainya (Knox dan Myabara, 1984 dalam Saptarini et. al., 1995)
Selanjutnya Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa kondisi fisik dan kimia yang mempengaruhi organisme yang hidup di ekosistem estuaria antara lain adalah salinitas, suhu dan sedimen.
B. Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Terdapat di daerah tropik atau sub tropik disepanjang pantai yang terlindung dan di muara sungai. Hutan mangrove merupakan ciri khas ekosistem daerah tropis dan sub tropis. Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantainya. Sebagai daerah peralihan antara darat dan laut, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang berat, sehingga hanya jenis tertentu yang memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan seperti itulah yang dapat bertahan dan berkembang (Anonim, 1997).
Keberadaan hutan mangrove dapat terjadi pada lingkungan di sepanjang muara sungai atau lebih banyak dipengaruhi oleh faktor aliran sungai (fluvio-marine) dan lingkungan yang lebih didominasi factor laut (marino-fluvial). Untuk kondisi hutan mangrove yang lebih banyak dipengaruhi faktor laut, biasanya suplai air tawar berasal dari curah hujan atau mata air (spring) dan struktur hutannya lebih didominasi oleh tanaman mangrove.
Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Menurut Dewanti et. al., (1996) hutan mangrove dapat meliputi beberapa jenis tanaman seperti Avicennia, Rhizophora, Ceriops, Bruguiera, Xylocarpus, Acantus dan dan Hibiscus. Untuk adaptasi terhadap kondisi habitat lingkungan yang ekstrim, jenis-jenis tersebut mempunyai perakaran yang khusus. Sonneratia spp, Avicennia spp dan Xylocarpus spp mempunyai akar horizontal; Bruguiera spp dan Lumnitzera spp berakar tunjang, sedangkan Ceriops spp akarnya terbuka dan bagian bawah batang mempunyai lenti sel yang besar. Kerapatan kanopi berhubungan erat dengan umur tumbuhan, jenis, dan kerapatan batang pohonnya. Kerapatan tersebut dapat pula mengindikasikan kondisi baik atau jelek suatu tegakan hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai produktivitas tinggi. Menurut Lugo dan Snedaker (1974 dalam Supriharyono, 2000) produktivitas primer hutan mangrove dapat mencapai 5.000 g C/m2/th. Tinggi rendahnya produktivitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu fluktuasi pasang dan kimia air.
Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak. Bagi fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Bagi fungsi ekonomis dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna. Arang dari jenis Rhizophora spp mempunyai nilai panas yang tinggi dan asapnya sedikit. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % jumlah seluruh hutan mangrove dunia (Lawrence, 1998). Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71 %), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %).
Menurut Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap trumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik dan kimia dilingkungannya. Empat faktor utama yang mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: (a) frekwensi arus pasang; (b) salinitas tanah; (c) air tanah; dan (d) suhu air. Keempat faktor tersebut akan menentukan dominan jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan.
C. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang dan alge penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. (Saptarini et. al, 1995; Dawes 1981 dalam Supriharyono, 2000)
Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan terumbu karang cincin (atolls) Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal. Untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu yang hangat, gerakan gelombang yang besar, serta sirkulasi yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi.Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keaneka ragaman hayatinya. Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera. Selanjutnya Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa karena produktivitas yang tinggi tersebut memungkinkan terumbu karang merupakan tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi.
Kerangka hewan karang berfungsi sebagai tempat berlindung atau tempat menempelnya biota laut lainnya. Sejumlah ikan pelagis bergantung pada keberadan terumbu karang pada masa larvanya. Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut. Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi. Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.
Pertumbuhan karang dan penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi lingkunganya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Faktor faktor kimia dan fisik yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan atau laju pertumbuhan karang antara lain cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen. Sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsanya (Supriharyono, 2000).D. Ekosistem Rumput Laut dan Lamun
Padang lamun (seagrass beds) merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal. Masyarakat lamun merupakan masyarakat tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas angiospermae. Keunikan tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya adalah adanya perakaran dan sistem rhizoma yang ekstensif. (Supriharyono, 2000). Wilayah ini terdapat antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat mencapai dasar laut.
Produktivitas primerkomunitas lamun mencapai 1 kg C/m2/th. Namun demikian menurut Kirman dan Reid (1979 dalam Supriharyono, 2000) dari jumlah tersebut hanya 3 % yang dimanfaatkan oleh herbivora, 37 % tenggelam ke perairan dan dimanfaatkan oleh benthos dan 12 % mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem. Padang lamun mendukung kehidupan biota yang cukup beragam dan berhubungan satu sama lain. Jaringan makanan yang terbentuk antara padang lamun dan biota lain adalah sangat kompleks.
Selanjutnya dikemukakan oleh Supriharyono (2000) bahwa produktivitas tersebut selain dari tumbuhan lamun juga berasal dari algae dan organisme phytoplankton yang menempel di daun lamun. Sejumlah invertebrata: moluska (Pinna, Lambis, dan Strombus); Echinodermata (teripang – Holoturia, bulu babi – Diadema sp.), dan bintang laut (Archaster, Linckia); serta Crustacea (udang dan kepiting).
Di Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996) sehingga interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh.
Fungsi padang lamun antara lain: memerangkap sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air; produktivitas primer; sumber makanan langsung kebanyakan hewan; habitat beberapa jenis hewan air; substrat organisme yang menempel dan sebagainya. (Supriharyono, 2000)
E. Ekosistem Rawa Pasang Surut
Lahan pantai merupakan bagian dari dataran pantai (coastal plain) yang berupa daerah peralihan dengan perairan laut, yang biasanya disebut pesisir. Dalam sistem landform dataran pantai mencakup bagian dari grup aluvial, marin, fluvio marin, gambut dan eolin (Marsudi et al., 1994). Lahan rawa di daerah pesisir berupa lahan rawa pasang surut. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,192 juta ha (Widjaja Adhi, et al., 1992 dan Nugroho, et al., 1993). Jenis tanah yang ditemukan pada wilayah ini sangat beragam tetapi secara garis besar terdiri dari tanah mineral dan tanah organik.
Tanah mineral yang ditemukan umumnya berasal dari bahan aluvial baik sedimen daratan maupoun sedimen marine Asal sedimen tersebut menetukan sifat tanah mineral yang terbentuk. Sedimen marine atau yeng terpengaruh sedimen marine secara dominan akan membentuk tanah yang mempunyai potensi sulfur yang cukup tinggi.
Tanah organik terbentuk akibat akumulasi bahan organik rawa belakang tanggul karena proses dekomposisi yang tidak sempurna. Untuk indonesia bahan dominan dari bahan kayu.
Sebagian besar lahan pantai mempunyai relief datar. Lahan pantai berpasir yang tidak mendapat pengaruh air pasang umumnya cembung atau datar agak berombak. Kemiringan lahan pada lahan pantai yang mendapat pengaruh air pasang dan ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap kesesuaian lahan untuk perikanan air payau (tambak) maupun pengembangan budi daya pertanian lainnya.
Berdasarkan jangkauan pasang air laut, Widjaja Adhi, et al., (1992) membagi empat tipologi lahan pasang surut yaitu:
Tipe A : Lahan selalu terluapi pasang maksimum maupun minimum.
Tipe B : Lahan hanya terluapi pasang besar.
Tipe C : Lahan tidak pernah terluapi pasang besar, air tanah kurang dari 50 cm.
Tipe D : Lahan tidak pernah terluapi pasang besar dan air tanah lebih dari 50 cm.
Berdasarkan landform lahan pantai dapat berupa pesisir, fluvio marin, rawa belakang. Pada ketiga landform ini terdapat tanah Histosols, Inceptisols dan Entisols dari great grup Sulfihemists, Haplohemists, Haplosaprists. Halasaprists dan hydraquents. Daerah pesisir tanahnya terdiri atas Udipsamments seluas 857 220 ha, dan Endoaquents 571 480 ha. Pada fluvio marin terdiri dari Endoaquents seluas 1 335 480 ha dan Sulfaquents 890 320 ha. Sedangkan pada rawa belakang tanahnya terdiri atas endoaquepsts dan Sulfaquents yang masing-masing luasnya 401 620 ha dan 267 990 ha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar