Indonesia bukanlah gejala fisik semata, melainkan suatu ruang virtual yang melingkupi pulau-pulau bekas jajahan kolonialisme Belanda, dan beberapa pulau lainnya. Ruang virtual tersebut terbentuk tidak melalui sentuhan inderawi semata, tetapi terlebih karena peran imajinasi. Indonesia adalah produk dari imajinasi. Dalam arti ini proses pembentukan Indonesia sebagai imajinasi yang memiliki kaki-kaki politis tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.
Mulai dari animisme dan dinamisme sebagai aliran kepercayaan kuno nusantara, berkembangnya peradaban Hindu dan Buddha, masuk dan menyebarnya Islam, serta menyebarnya agama Kristen bersama dengan masuknya Portugis, Belanda, dan Inggris adalah bukti jelas bahwa sejarah Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari agama. Kini di era reformasi demokrasi, relasi antar agama dan posisi agama di dalam ruang publik politis di Indonesia masih menjadi tema penelitian dan diskusi yang kontroversial.
Agama yang Lupa
“Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama. Tidak ada perdamaian antara agama, tanpa dialog antaragama. Dan tidak ada dialog antaragama, jika masing-masing agama tidak menggali fondasinya masing-masing”, demikian berulang kali dikatakan oleh Hans Küng, seorang filsuf dan teolog yang mengembangkan pemikiran etika global. Jelas di dalam pernyataan tersebut, bahwa peran agama di dalam proses perkembangan peradaban sangatlah besar. Peradaban tidaklah bisa dilepaskan dari agama.
Agama lahir dalam konteks kekacauan peradaban, perang dan kekerasan berlangsung dimana-mana, namun kini agama justru menjadi pembenaran bagi tindak perang dan kekerasan dengan skala yang lebih besar. Di dalam sejarah pemikiran manusia, kita mengenal sebuah jaman yang disebut sebagai jaman Pencerahan kuno. Pada masa itu beberapa nabi besar Yahudi lahir dan mengembangkan ajarannya, para filsuf Yunani kuno mengembangkan dan berkeliling untuk menyebarkan filsafat, dan Taoisme serta Konfusianisme berkembang di Cina. Hampir pada saat yang bersamaan, para nabi dan pemikir besar melahirkan agama dan berbagai ajaran hidup yang mengajarkan kedamaian dan cinta kasih.
Namun dalam perjalanan roh perdamaian dan cinta kasih itu lenyap di telan jaman dan peristiwa. Agama menjadi ajaran yang mengajarkan intoleransi, yakni kebencian terhadap yang berbeda. Perang antar agama menghancurkan peradaban, dan menorehkan luka kolektif yang kemudian berkembang menjadi trauma sosial yang efek negatifnya terasa lintas generasi. Agama berubah menjadi alat yang bisa digunakan untuk tujuan apapun, termasuk pembenaran bagi tindak penghancuran. Agama telah lupa pada alasan keberadaannya sendiri.
Berpijak pada fakta historis tersebut, muncul para pemikir yang hendak meminggirkan agama dari ruang publik. Ruang publik adalah ruang netral. Tidak boleh ada ajaran agama manapun yang mencampurinya. Agama hanya melahirkan fanatisme, intoleransi, dan kebodohan berpikir, maka harus dipinggirkan dari debat publik. Agama adalah urusan personal, maka tempatkanlah di kamar-kamar pribadi, dan jangan pernah dibawa ke dalam debat publik. Inilah pandangan pertama tentang hubungan antar agama dengan ruang publik politis masyarakat demokratis.
Argumen di atas begitu tajam, dan langsung melahirkan tanggapan dari banyak pemikir dari berbagai displin ilmu. Agama telah terjatuh ke dalam kontradiksi, yakni telah menjadi apa yang sebenarnya ingin dikritiknya, yakni legitimator kekerasan. Agama lahir untuk membebaskan dunia dari kebiadaban. Namun banyak pemikir modern yang justru menempatkan agama sebagai simbol kebiadaban, mengingat begitu banyak darah tercecer di dalam sejarahnya.
Dari argumen ini lahirlah ateisme. Ateisme lahir tidak sebagai simbol kebiadaban, melainkan sebagai simbol keinginan manusia untuk hidup lebih baik, yakni lepas dari intoleransi, perang, dan kekerasan dalam bentuk apapun. Ateisme merupakan pemurnian atas agama. Ateisme adalah panggilan bagi para penganut agama untuk kembali ke esensi atau fondasi agamanya masing-masing.
Esensi Agama
Ateisme janganlah ditempatkan sebagai musuh agama, melainkan sebagai teman yang berkata jujur dan tajam, dan itu sebenarnya baik bagi perkembangan agama sendiri. Ateisme bukanlah titik akhir, melainkan titik awal untuk bersikap kritis terhadap perilaku hidup beragama manusia, dan kemudian beranjak untuk memulai membangun jembatan yang manusiawi di antara agama-agama. Seperti yang dikatakan oleh Hans Küng, dialog antar agama hanya bisa terjadi, jika setiap agama mau kembali menggali fondasinya masing-masing. Dalam tafsiran saya agama diajak untuk kembali ke esensi agamanya masing-masing.
Apa sesungguhnya yang menjadi esensi dari agama? Esensi dari agama adalah pengalaman mistik yang menggetarkan jiwa, dan memaksa untuk mencintai yang berbeda. Semua agama lahir di atas fondasi pengalaman paradoksal semacam itu. Agama adalah jalan yang memaksa orang untuk mencinta apa yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri. Jika proses penggalian fondasi sudah sampai menyentuh esensi tersebut, maka jembatan dialog akan dapat dibangun dengan kokoh dan indah. Mungkin surga tidak jauh di atas sana setelah kita tiada, tetapi bisa juga dihadirkan di atas dunia, jika agama tidak lupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar