Selasa, 20 Juli 2010

Dilema Jembatan Suramadu

suramadu 01 300x237 Dilema Jembatan Suramadu

Walaupun secara fisik dan ekonomi Jembatan Suramadu mendekatkan Surabaya dan Madura (Kota Bangkalan), namun secara kultural, jembatan itu justru semakin menjauhkan kedua tempat tersebut. Jembatan Suramadu memungkinkan terjadinya perpindahan populasi yang cepat, baik dari Madura ke Surabaya, ataupun sebaliknya. Semakin banyak penduduk Madura datang dan menetap di Surabaya, serta penduduk Surabaya ke Madura.

Padahal kedua kelompok tersebut memiliki prasangka kultural yang sangat besar satu sama lain. Pembangunan Jembatan Suramadu kurang diikuti dengan pembangunan mentalitas dan kultural kedua kelompok tersebut.



Akibatnya prasangka kultural di antara kedua kelompok tersebut semakin besar. Maka walaupun secara fisik semakin dekat, namun karena prasangka negatif yang semakin besar di antara keduanya, penduduk Surabaya dan Madura justru semakin menjauh secara kultural.

Prasangka Kultural
Jembatan Suramadu menghubungkan kota Surabaya di Jawa timur dan kota Bangkalan di Madura. Jembatan ini diharapkan mampu memperlancar distribusi barang dan jasa, sehingga dapat memajukan ekonomi kedua kota tersebut. Jembatan tersebut kini membentang sepanjang 5,4 km. Jembatan Suramadu diharapkan dapat menjadi ikon kota Surabaya yang membanggakan.
Walaupun niat awal pendirian Jembatan Suramadu baik, namun realitasnya berbeda. Selama ini penduduk Surabaya memiliki prasangka yang sangat besar terhadap orang-orang Madura, seperti mereka cenderung tidak patuh pada hukum dan aturan, sulit untuk diajak berdiskusi, cenderung tidak bersih, cenderung tidak jujur dalam berdagang, dan sebagainya. Banyak dari prasangka ini tidak benar, dan lebih merupakan generalisasi salah arah.

Namun dengan intensitas perpindahan penduduk Madura ke Surabaya dan kota-kota lainnya di Jawa Timur, prasangka kultural negatif ini justru semakin menguat. Prasangka hanya bisa dipecah dengan komunikasi antar pribadi yang mendalam. Namun prasangka itu pulalah yang kerap kali menghalangi proses komunikasi antar pribadi yang mendalam. Hal yang sama berlaku untuk penduduk Surabaya yang pindah ke Madura. Prasangka bahwa orang-orang Surabaya itu arogan juga akan bertambah besar, jika tidak ada proses untuk mendekatkan kedua kelompok tersebut melalui proses komunikasi yang berkualitas.

Di dalam refleksi filsafat, prasangka kultural tertanam pada trauma kolektif. Trauma kolektif adalah ingatan tentang suatu peristiwa negatif yang terjadi di suatu tempat pada kelompok tertentu. Peristiwa itu sudah lewat, namun ingatan atasnya masih segar, sehingga peristiwa negatif tersebut seolah mengulang dirinya sendiri. (Budi Hardiman, 2002) Prasangka berakar pada trauma yang merupakan peristiwa negatif yang terus mengulang dirinya sendiri.

Penduduk Surabaya dan Madura juga memiliki prasangka kultural satu sama lain yang berbasis pada trauma. Pengalaman pertemuan satu sama lain selama puluhan tahun pada akhirnya menciptakan anggapan negatif di antara kedua kelompok tersebut. Anggapan itulah yang mengental menjadi prasangka. Prasangka lebih sering merupakan suatu anggapan yang tidak tepat, yang terbentuk akibat generalisasi yang salah arah.

Menjauhkan yang Dekat dan Mendekatkan yang Jauh
Di dalam refleksi filsafat, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seringkali mendekatkan dua manusia yang saling berjauhan, dan menjauhkan manusia yang saling berdekatan. Dua orang yang terletak di benua yang berbeda sibuk berkomunikasi dengan menggunakan komputer. Sementara dua orang yang berdekatan secara fisik justru merasa asing satu sama lain, karena tidak terjalin komunikasi di antara keduanya. Teknologi informasi dan komunikasi mendekatkan dua orang yang saling berjauhan, dan pada saat yang sama menjauhkan dua orang yang saling berdekatan.

Dalam hal ini pembangunan Jembatan Suramadu juga dapat digolongkan sebagai perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, atau lebih tepatnya perkembangan teknologi transportasi yang memungkinkan meningkatnya intensitas komunikasi dan informasi antara Surabaya dan Madura. Dalam hal ini Surabaya rupanya ingin menjadi sebuah kota modern yang memiliki ikon yang dapat dibanggakan. Namun di dalam upanya untuk menjadi kota modern, Surabaya justru lebih menyerupai Jakarta yang memiliki aspirasi besar untuk menjadi kota global, tetapi justru semakin menjauh dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dalam hal ini adalah Madura. (B. Herry Priyono, 2009)

Dengan demikian walaupun secara fisik dan ekonomi Jembatan Suramadu mendekatkan Surabaya dan Madura, namun tanpa upaya untuk meningkatkan komunikasi yang berkualitas di antara kedua kelompok masyarakat tersebut guna melenyapkan prasangka di antara keduanya, jembatan itu justru akan semakin menjauhkan penduduk Surabaya dan Madura secara kultural. Pemerintah di kedua daerah tersebut haruslah mulai memikirkan masalah ini. Pembangunan yang tepat tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik dan ekonomi semata, tetapi juga pembangunan kultural yang bertujuan untuk membentuk masyarakat yang memiliki cara berpikir rasional dan bebas dari prasangka kultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar