Senin, 09 Agustus 2010

Kedangkalan Kita

the nation 276x300 Kedangkalan Kita
Dulu para pemimpin kekaisaran Romawi sering menyamakan Roma dengan massa. Roma bukanlah senat. Roma bukanlah republik, dan bahkan bukan sang Caesar. Roma adalah massa yang menuntut untuk dipuaskan dengan perang, emas, darah, dan kejayaan yang diperoleh dengan penaklukan.

Semua itu bisa dilihat dengan mudah pada pertunjukkan gladiator dengan menjadikan manusia sebagai korbannya. Pertunjukkan itu sangat digemari oleh “massa” Roma. Rome is the mob! Seberapa bedakah Indonesia sekarang ini dengan kekaisaran Romawi pada waktu itu?


Tantangan Kita Bersama
Tidak ada saat yang lebih untuk mengajukan pertanyaan itu seperti sekarang ini. Identitas bangsa Indonesia saat ini dihantam oleh dua kutub ekstrem, yakni fanatisme ekonomi dan fanatisme religius.

Fanatisme religius terbentuk dalam iklim kecintaan berlebihan pada agama tertentu, dan tafsiran literal atas ajaran-ajarannya. Sementara fanatisme ekonomi terbentuk dalam iklim pengejaran uang tanpa kenal lelah dengan menggunakan segala cara yang mungkin.

Di bawah himpitan dua paham itu, rasa kebangsaan kita sebagai satu Indonesia bagaikan tercekik dan tak menemukan udara untuk hidup. Juga di bawah himpitan dua paham ‘maut’ itu, warga negara berubah menjadi massa negara. Yang berubah bukan hanya kata, tetapi juga makna. Warga negara dengan ciri rasionalnya disulap menjadi massa yang emosional dan destruktif.

Paranoia dan Massa
Salah satu sebab utama pendek dan dangkalnya ingatan sosial bangsa Indonesia adalah ciri paranoid yang melekat pada kulturnya. Paranoia sendiri adalah sebuah ciri personalitas yang takut berlebihan terhadap masa depan dan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat di dalamnya. Paranoia menolak ciri ketidakpastian realitas. Jika mungkin semua hal di muka bumi haruslah dapat dikontrol. Rasa nyaman berakar pada kontrol tersebut.

Ketika kontrol hilang ketika itu pula segalanya menjadi kacau. Kehilangan kontrol lalu ditanggapi dengan emosi dan tindakan destruktif. Akibatnya konflik pun tidak dapat dihindarkan. Orang yang paranoid adalah orang yang akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kontrolnya terhadap realitas. Hal yang sama berlaku untuk bangsa yang paranoid. Padahal siapa atau apa di muka bumi yang fana ini yang mampu mengatur sepenuhnya masa depan realitas?

Tidak heran juga Bangsa Belanda yang begitu kecil dalam ukuran ruang dan jumlah penduduk mampu menjajah kita selama lebih dari 300 tahun. Dengan politik adu domba, mereka memanfaatkan ciri paranoid bangsa Indonesia secara efektif. Akibatnya konflik internal pun terjadi. Berbagai terpaan krisis sosial yang terjadi sekarang ini juga dapat diasalkan pada ciri paranoid yang kita punya sebagai bangsa.

Asas praduga tak bersalah lenyap di hadapan gosip dan himpitan media massa. Yang terakhir ini nyata sekali dalam pemberintaan berlebihan kasus Antasari di media massa. Hukum terjepit oleh paranoia yang secara langsung dikembangkan oleh media. Prinsip-prinsp dasar hukum untuk menjamin keadilan pun seolah lenyap tak berbekas. Ini adalah jelas ciri paranoia pencipta massa.

Pendidikan dan Televisi
Rhenald Kasali tepat sekali ketika mengatakan, bahwa yang pertama-tama harus diubah di bangsa ini adalah core belief-nya. Dan ujung tombak untuk mengubah core belief bangsa ini adalah pendidikan dan televisi. (Kasali, 2009) Wacana pendidikan untuk menghancurkan ciri paranoia dan massa sudah banyak dikembangkan. Yang diperlukan adalah praktek yang konsisten dengan wacana tersebut. Tetapi bagaimana dengan televisi?

Televisi adalah penyebar ide yang paling efektif sekarang ini. Yang menjadi masalah adalah, ide yang disebarkan seringkali ide yang justru melestarikan ciri paranoia dan massa yang sudah kental tertanam di bangsa kita. Alih-alih menjadi instrumen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, televisi justru menjadi pelestari kultur paranoia. Sudah saatnya industri media, terutama media televisi, mulai memikirkan ulang paradigma yang mereka gunakan di dalam kegiatan operasional mereka.

Jangan sampai karena dihimpit oleh pencarian uang tanpa batas dan fanatisme pada agama tertentu, televisi justru membuat bangsa ini semakin tersesat. Jika itu yang terjadi, mungkin bangsa Indonesia sekarang ini tidak jauh berbeda dengan Kekaisaran Romawi 2000 tahun yang lalu. Kita adalah massa yang ingin terus dipuaskan dengan hiburan sesaat, perang, agresivitas, kekuasaan, dan seks tanpa batas. Kemana itu semua akan menghantar kita? Jawabannya sudah pasti: kehancuran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar