Uji Materi UU Pesisir Terkabul, Kemenangan Nelayan
Dikabulkannya uji materi Undang Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil oleh Mahkamah Konstitusi, disambut gembira para pemohon dan nelayan, Kamis, 16 Juni 2011. Wajah para pemohon berseri-seri mendengar gugatan mereka terkabul.
Uji materi diajukan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)
bersama Koalisi Tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir yang terdiri dari
WALHI, IHCS, KPA, LBH Jakarta, Bina Desa, Jatam, SBIB, SPI, API, serta
27 orang nelayan.
Mereka menyadari, ijin hak pengusahaan yang telanjur diberikan tak
bisa dicabut. Namun, pemohon mendesak pemerintah segera merevisi atau
mencabut sejumlah peraturan yang mengatur hak pengusahaan maupun
didasarkan pada pasal-pasal dalam Undang-undang Pesisir yang telah
dibatalkan Mahkamah.
Sekretaris Jenderal Kiara, M Riza Damanik, mengatakan setidaknya ada
dua Peraturan Pemerintah, yakni tentang mitigasi bencana dan
pemberdayaan pulau-pulau kecil, yang harus dirombak atau dicabut. Ada
pula sekitar 33 peraturan daerah yang juga otomatis harus diubah. Juga
ada sedikitnya tiga kabupaten dan kota berinisiatif mengeluarkan
peraturan serupa, yang dinilainya lebih baik dibatalkan saja dengan
adanya putusan ini.
"Sepanjang sejarah Indonesia, ini pertama kali nelayan langsung menggugat Undang-undang dan menang," kata Damanik.
Menuut dia, ini merupakan kemenangan nelayan dan masyarakat Indonesia
secara keseluruhan. Laut tidak boleh dikapling, tidak boleh ada
kegiatan yang menghambat akses masyarakat, dan perlu ada perlindungan
pemerintah terhadap nelayan.
Aktivis WALHI M Teguh Surya, menilai dengan adanya Undang-undang
Keterbukaan Informasi Publik, pemerintah wajib membuka hak pengusahaan
apa saja yang sudah dilansir selepas Undang-undang Pesisir berlaku di
2007. Sehingga masyarakat adat tahu kapan mereka bisa mengelola sumber
daya yang ada demi kebutuhan mereka. "Contohnya pulau yang dikuasai
pengusaha Swedia di Wakatobi, masyarakat harus tahu kapan mereka bisa
mengambilalihnya," tutuTeguh.
Anggota Masyarakat Adat Lamalera, Bona, menyampaikan pesannya dari
kampung. "Ucapan terima kasih dari para janda dan fakir miskin di
pelosok Lamalera, karena hak masyarakat adat mendapat tempat di republik
ini, hak yang sudah ada sebelum republik ini berdiri," kata pria yang
mengenakan kaus hitam, jaket hitam, dan sarung kotak-kotak putih-ungu
itu.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang Undang Nomor
27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Beleid itu dinilai mengalihkan kekuasaan negara pada swasta serta
merugikan masyarakat adat dan nelayan. Pengusaha yang kini menguasai
pesisir dan pulau kecil harus bersiap-siap kehilangan pundi-pundinya.
"Mahkamah memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon," kata Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam pembacaan putusan di ruang sidang
pleno di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 16 Juni 2011.
Beleid itu digugat sejumlah lembaga swadaya masyarakat karena hak
pengusahaan perairan pesisir dinilai mengancam ruang gerak nelayan
tradisional dan masyarakat adat. Permohonan uji materi yang dilayangkan
pada 13 Januari 2010, lebih dari setahun lalu itu, meminta MK
membatalkan 12 norma Undang-undang Pesisir karena dinilai bertentangan
dengan pasal 28 dan pasal 33 UUD 1945.
Mahkamah menyatakan lima dari 12 norma itu bertentangan dengan UUD
1945 dan membatalkannya. Meski tak diminta, Mahkamah juga membatalkan
delapan norma lainnya yang berkaitan dengan hak pengusahaan perairan
pesisir. Praktik ini lazim dikenal sebagai ultra petita, atau memutus
lebih daripada permohonan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar