Pohon Trembesi selain dikenal efektif untuk mengurangi polusi udara, ternyata bisa dijadikan bahan baku alternatif untuk membuat tempe. Soal rasa, tempe trembesi ini tidak berbeda dengan tempe biasa, bahkan lebih gurih.
Impor kedelai di Indonesia mencapai 65 persen, padahal Indonesia mempunyai sumber daya alam (SDA) yang sangat besar. Salah satu SDA yang belum dimanfaatkan yaitu trembesi. Biji trembesi banyak tercecer di jalan dan tidak dimanfaatkan dengan baik padahal kandungan proteinnya tinggi.
Trembesi mempunyai kandungan protein yang hampir sama dengan kedelai sehingga bisa dijadikan bahan baku alternatif untuk membuat tempe. Diharapkan dengan penggunaan bahan baku alternatif ini maka akan mengurangi impor kedelai dan membantu petani lokal.
Karya berjudul Pembuatan Tempe Kombinasi Biji Trembesi dan Biji Kedelai sebagai Makanan Alternatif Berprotein Nabati Tinggi berhasil lolos seleksi lomba kreativitas bidang kewirausahaan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) bulan Februari lalu.
Karya Asset At Taqwa, Andrea Prima, Bagus Ovi P, Wardah Ameliyah, Rahmad Aji adalah tim dari Fakultas Farmasi (FF) Universitas Airlangga (Unair) pemenang lomba yang diikuti oleh ribuan tim dari Universitas di seluruh Indonesia.
“Kita menggunakan kedelai dan trembesi karena dua bahan tersebut jika dikombinasikan maka proteinnya saling melengkapi,” kata Bagus, seperti dikutip dari berita profil unair.ac.id, di Jakarta, Selasa (4/5/2010).
Kedelai mengandung zat antikanker dan trembesi bisa menurunkan kolesterol. Konsumen tidak perlu khawatir mengenai efek samping karena terbuat dari bahan alami, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif. Dari segi rasa, tempe trembesi tidak berbeda dengan tempe yang dijual dipasaran, bahkan lebih gurih.
“Produk ini menang karena merupakan produk baru, mudah dibuat, pangsa pasar besar, dan tidak ada kelemahan,” kata Asset.
Cara pembuatannya cukup mudah yaitu direndam, direbus, dicuci, dipisahkan kulit arinya, dicampur ragi dan diperam. Keseluruhan proses memakan waktu kurang lebih dua hari.
Produk ini dibuat secara higienis. Meski tidak diberi bahan pengawet, produk ini bisa bertahan hingga dua hari walau tidak dimasukkan ke dalam lemari pendingin.
Asset mengatakan, proses menemukan ide adalah dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Semakin lama semakin banyak produk makanan instan dan tidak higienis. “Kami melihat hal ini sebagai peluang pasar,” katanya.
“Kami memang mahasiswa farmasi namun tidak hanya bekerja di apotek karena farmasi tidak hanya memelajari obat saja tetapi makanan dah kosmetik,” tambahnya.
Riset dilakukan selama tiga bulan dan hasilnya tim ini mendapat dana hibah kurang lebih lima juta rupiah. Evaluasi dilakukan berkala tiap bulan. Tim terbaik akan diikutkan Pimnas oleh Dikti.
Saat ini produksi tempe trembesi hanya dua kg per hari, karena masih dalam masa promosi. Produksi masih dilakukan secara manual karena belum memiliki mesin dan hanya mempunyai satu karyawan. Jika sudah mempunyai mesin dan berproduksi dalam jumlah besar Asset optimis usahanya akan mencapai impas (BEP) pada Juli.
Tempe trembesi dijual akhir bulan april di wilayah Surabaya dan Sidoarjo. “Kami berencana melakukan kerjasama dengan agen tempe dan penjual tempe penyet,” kata Asset.
Satu bungkus tempe dijual seharga Rp1.000. Rencananya kami akan memproduksi dalam kemasan kecil, sedang, dan besar dengan harga masing-masing Rp500, Rp1.000, dan Rp2.500.(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar